Selasa, 14 September 2010

firza


Layakkah untuk Dihuni?


Apakah rumah cibiran itu layak untuk dijadikan tempat untuk bernaung dan berteduh? Sudah tentu, tidak. Kini, rumah itu kosong dari gambaran sakinah (ketenangan), mawaddah (kecintaan), dan rahmah (kasih sayang). Padahal ketiga suasana itulah yang sangat diperlukan untuk perkembangan fisik dan psikologi anak sebagai buah membangun rumah tangga.

Rumah yang kosong dari nilai-nilai religius, menelorkan penghuni yang jiwanya retak-retak, jiwanya terbelah (split personality). Manusia yang sehat secara fisik, tetapi ruhaninya menjerit kesakitan. Manusia yang cerdas otaknya, tetapi lemah imannya. Manusia yang tidak seimbang antara ikhtiar dan doa, tidak seimbang antara kekuatan tubuh dengan kekuatan ruhiyah, tidak paralel antara fikir dan zikir. Rumah yang dihuni oleh manusia yang terasing dari lingkungan sosial yang ramai.

Sebaik-baik rumah adalah dibangun dengan etos memberi. Memberi sapaan, senyuman, salam, kepada siapa saja yang melewatinya (afsyus salam). Bangunan pisik dan spiritualnya terjaga karena penghuninya senang mengantarkan makanan untuk tetangga yang telah mencium aroma masakannya (ath’imuth tho’am). Itulah sebabnya mengapa pagar mengkok sering disebut lebih kokoh dari pagar tembok. Rumah didesain secara terbuka untuk menjalin silaturrahim. Rumah yang di dalamnya dibangun untuk tempat membaca kalam ilahi. Untuk mengokohkan sandaran spiritual penghuninya.وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا
“(Wahai kaum wanita), ingatlah ayat-ayat Allah dan al-hikmah yang dibacakan di rumah-rumah kamu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang dan Maha Mengetahui.” (QS. Al Ahzab (33) : 34).
Keluarga yang menuruti ego, ananiyah, dan keinginan sepihak, hubungan batin anak dengan kedua orangtuanya terputus, semua anggota keluarganya bersatu hanya lantaran bertempat tinggal sama, adress resmi (formalitas). Komunitas seperti itu akan membuat lobang kehancurannya sendiri. Sekalipun secara lahir masih serba mentereng, wah.

Hal ini karena faham materialisme, tidak mengakui tuntutan fithrah manusia dan harkat martabatnya.  Manusia dipersepsikan sebagai mesin (sekrup-sekrup) produksi, dan nilainya dengan standar (ukuran)  manhours --hasil kerja seseorang dihitung dalam satu jam. Tampak di sini keutuhan berkeluarga tertindas, sehingga hancur pula sendi-sendi berbangsa dan bernegara (‘imadul bilad).

Banyak di kalangan aktivis pergerakan Islam – secara tidak sadar – terkontaminasi paham ekstrim komunal RRC. Kaum bapak dimasukkan bangsal-bangsal khusus, dan anak-anak yang belum dewasa dimasukkan pula dalam bangsal-bangsal penitipan anak dan menjadi milik negara. Semua itu atas nama  meningkatkan  income, karier, dan produktivitas.

Bila kegiatan suami dan isteri bertepatan, pasangan ini bisa mengatur jadual pertemuan. Kehidupan keluarga berjalan secara sehat, normal, dan wajar. Tetapi, jika kesibukan keduanya berbeda, maka pertemuan hanya bisa dilakukan via teknologi komunikasi. Pertemuan yang kering, dan terjadilah kegersangan spiritual.

Jika penghuni rumah lebih yakin dengan kekuatan mengambil, meminta ketimbang memberi, maka memintalah terus. Bila perlu mencurilah. Kuraslah uang negara sekehendak perutmu. Bangunlah yang bukan milikmu itu untuk membangun istana pribadimu. Manfaatkanlah wewenang yang berada di genggaman tanganmu untuk mengumpulkan kekayaanmu, hatta tujuh turunan sekalipun. Tetapi, percayalah apa yang engkau bangun selama ini tidak berarti apa-apa, kecuali akan diminta kembali secara paksa, dengan cara yang tidak pernah engkau duga.

Penulis teringat ketika acara muwada’ah di pesantren dahulu. Pak Kiai mengutip sastra Arab:  “Apabila engkau membawa keranda mayat ke kuburan, ingatlah suatu saat engkau akan digotong. Dan apabila engkau diserahi sebuah urusan kaum, ingatlah suatu saat engkau akan dimakzulkan (dilengserkan).”

Betapa sakitnya, kita tidak bisa menikmati dan memaknai apa yang kita kumpulkan dengan susah payah. [www.hidayatullah.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar