Selasa, 14 September 2010

hikmah

Memberi, Hakikatnya Mendapatkan

E-mail Print PDF
Orang beriman sadar bahwa apa yang dimilikinya hanya hak guna (pinjaman), bukan hak milik. Karena yang memilikinya adalah Allah Swt
Oleh: Sholih Hasyim*

Kekayaan seorang mukmin yang paling mahal dalam kehidupan ini adalah manisnya iman kepada Allah Swt. Jika kita memilikinya, sekalipun kita miskin harta, pengaruh, jabatan, tinggal di gubuk reot, mendekam di balik jeruji, hakikatnya kita memiliki segala-galanya dalam kehidupan ini. Sebagaimana pengalaman Nabi Yusuf As.

Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh." (QS. Yusuf (12) :

Sebaliknya, meskipun dunia dan seisinya berada di dalam genggaman kita, tetapi kita faqrul iman (miskin iman), maka sejatinya kita tidak memiliki apa-apa. Karena, kita tidak bisa memaknai dan menikmati kehidupan ini. Dunia yang luas tak bertepi ini terasa sempit. Dunia yang terang benderang ini terasa gelap gulita. Orang beriman sekalipun miskin harta, tetapi memiliki kekayaan jiwa (ghinan nafsi).

Oleh karena itu kita harus berjuang tanpa mengenal lelah, dengan tenaga, fikiran, potensi yang kita miliki untuk mencapai manisnya iman (halawatul iman). Betapapun tinggi gunung kita daki, lautan yang tidak bertepi kita arungi, semua untuk memperoleh kenikmatan spiritual (lazzatur ruhi), yang diserap dari iman itu. Karena, di tengah-tengah perjuangan itu Allah Swt akan menggantinya dengan dua surga. Surga di dunia dengan kehidupan yang bahagia (hayatun thayyibah) dan surga di akhirat, selamat dari siksa neraka.

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar (QS. Yunus (10) : 62-64).

Namun, bagaimanakah iman yang sebenarnya, aqidah salimah (steril dari kontaminasi kemusyrikian)  merujuk referensi Islam itu?

Iman yang benar adalah keyakinan yang terhunjam di kedalaman hati, diucapkan dengan lisan, dan dibuktikan dengan seluruh anggota tubuh. Keyakinan bulat, tiada keraguan sedikit pun (al-yaqinu kulluhu). Dan mampu mempengaruhi orientasi kehidupan (ittijahul hayah). Iman tidak sekedar amal perbuatan, bukan pula sebatas pengetahuan tentang rukun Iman.

Iman bukan pula sekedar ucapan lisan seseorang yang mengaku bahwa dirinya orang beriman. Sebab, orang-orang munafik pun dengan lisannya menyatakan hal yang serupa, tetapi hatinya mengingkari statemennya sendiri. (QS. Al-Baqarah (2) : 8-9).

Iman pula tidak sebatas amal perbuatan an sich yang secara lahiriah merupakan ciri khusus perbuatan orang beriman. Sebab, orang-orang munafik pun tidak sedikit yang secara permukaan mengerjakan ibadah dan berbuat baik (fi’lul khoir), sedangkan hatinya kontradiksi dengan penampakan lahiriahnya. Apa yang dikerjakan tidak didasari kemurnian niat untuk mencari ridha Allah Swt (QS. An-Nisa (4) : 142). Iman juga bukan sekedar pengetahuan akan makna dan hakikat iman, tidak sedikit orang yang mendalami hakikat dan makna iman, tetapi mereka tetap saja ingkar (QS. An-Naml (27) : 14), (QS. Al-Baqarah (2) : 146).

Dengan demikian, iman membutuhkan penerimaan oleh akal hingga mencapai keyakinan yang benar-benar kuat, tidak lentur dengan perasaan bimbang. (QS. Al-Hujurat (49) : 15). Iman di samping menuntut adanya pengetahuan, pemahaman dan keyakinan yang kokoh, dia juga mensyaratkan adanya kepatuhan hati, sami’na wa ‘atha’na (kami dengar dan kami patuh), kesediaan dan kerelaan menjalankan perintah (instruksi) Allah Swt dan Rasul-Nya, serta ulil amri yang dipilih-Nya (QS. An-Nisa (4) : 65), (QS. An-Nur (24) : 51), (QS. Al-Ahzab (33) : 36).

Di samping pengetahuan dan penerimaan, iman sepatutnya membangkitkan semangat untuk beramal, berjuang dengan harta dan jiwa, sesuai dengan yang dituntut oleh iman itu sendiri dan kewajiban orang beriman (QS. Al-Anfal (8) : 2-4).

Dalam menyajikan ilustrasi tentang iman, Al-Quran selalu mengambil bentuk sebagai perilaku terpuji dan amal yang mendatangkan manfaat, yang merupakan garis pembeda antara orang-orang yang beriman dengan orang-orang kafir dan munafik (QS. Al-Mukminun (23) : 1-5).

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya (QS. Al-Mukminun (23) : 1-5).

Iman dan Kekayaan

Orang beriman sadar bahwa apa yang dimilikinya hanya hak guna (pinjaman), bukan hak milik. Karena yang memilikinya adalah Allah Swt. Maka, dilandasi oleh keimanan ia ikhlas memberikan sesuatu, sekalipun pada saat akan mengeluarkan ada perasaan berat, tetapi keimanannnya itu mengantarkannya untuk rela memberi. Ia yakin dengan memberi, hakikatnya akan mendapatkan balasan yang lebih baik. Balasan itu tidak akan salah alamat, pasti akan mengenai dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Justru infak yang paling tinggi nilainya adalah ketika akan dikeluarkan banyak sekali pertimbangannya, dan berat hati untuk memulainya.

Bahkan bersedia memberikan yang lebih banyak, melebihi dari yang diwajibkan, karena yakin bahwa apa yang diberikannya untuk menunaikan kewajiban kepada Allah Swt. Itulah yang kekal abadi. Sedangkan apa yang di genggaman tangannya akan hilang, lenyap tanpa bekas. Apa yang kita berikan untuk kebaikan, itulah milik kita sebenarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar